#TanyaAhok // Telaah Jelang Paripurna DPRD DKI Jakarta Soal Hasil Angket


 


DENGAN rampungnya proses penyelidikan oleh Panitia Hak Angket DPRD DKI Jakarta, langkah berikutnya akan disusul penyerahan laporan hasil penyelidikan itu kepada pimpinan DPRD. Telah diagendakan pula laporan hasil penyelidikan itu rencananya akan dibawa ke rapat paripurna DPRD DKI Jakarta pada Rabu (1/4/2015).

Seperti apa hasil penyelidikan oleh panitia angket itu? Akankah temuan-temuan yang diperoleh oleh panitia angket akan berujung pada pemakjulan terhadap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Dan bagi masyarakat DKI Jakarta secara umum, apa kebaikan yang diperoleh jika Ahok dimakzulkan oleh DPRD? Apa pula kebaikannya jika Ahok tidak dimakzulkan?

Serangkaian pertanyaan semacam itu kini mengisi obrolan-obrolan santai dan hangat khas warung kopi di masyarakat bawah dan di kalangan yang terkait pemangku kepentingan di DKI Jakarta—tentu itu di luar tema obrolan hangat lain, seperti obrolan seputar wafatnya Olga Syahputra yang berbarengan dengan naiknya harga BBM. 

Meski tak sedikit pula elemen masyarakat dari pelbagai latar belakang dan alasan tertentu yang menganggap tak penting dan “gak ngefek” apapun hasil akhir dari isu konflik Ahok dan DPRD itu bagi kualitas kehidupan yang telah dan sedang mereka jalani selama ini.

Namun atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu setiap masyarakat Jakarta akan berbeda-beda menyikapinya. Tergantung informasi yang dimiliki; kadar kepentingannya atas konflik yang terjadi antara Ahok dengan DPRD; afiliasi sosial-politiknya; perspektif pemahaman yang dimiliki dan dihayati atas apa yang secara verbal, tersirat maupun tersurat menyertai perkembangan konflik itu, beserta implikasinya terhadap agenda-agenda kerakyatan di Jakarta saat ini dan ke depan; dan seterusnya.


Kilas-Balik Jelang Hasil Hak Angket

Kurang-lebih sebulan, sepanjang Maret 2015, Panitia Hak Angket DPRD DKI Jakarta melakukan investigasi terkait kisruh seputar RAPBD Tahun 2015. Beberapa pihak dan saksi ahli, yang oleh panitia hak angket dianggap relevan, telah dipanggil dan dimintai keterangannya. Begitu juga bahan-bahan dan dokumen-dokumen yang dianggap penting pun sudah dihimpun. 

Sejak awal pembentukan panitia hak angket pada 26 Februari 2015 diarahkan untuk melakukan penyelidikan atas dua hal yang dipersoalkan DPRD DKI Jakarta. Yakni dugaan pelanggaran hukum terkait penyerahan RAPBD 2015 ke Kemendagri oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan etika penyelenggaraan pemerintahan oleh Gubernur.

Bermula dari berangnya para aggota DPRD DKI Jakarta atas ulah Ahok yang menyerahkan Raperda APBD 2015 yang bukan hasil pembahasan bersama dengan DPRD. Ulah Ahok itu dinilai anggota DPRD sebagai langkah Ahok mengabaikan fungsi budgeting anggota dewan, sekaligus pelanggaran terhadap ketentuan perundang-udangan yang ada. 

Namun sebenarnya, jika mengacu Keputusan MK nomor 35/PUU-XI/2013 tentang Inkonstitusionalitas Kewenangan DPR dalam Membahas dan Menyetujui Rincian RAPBN, kewenangan fungsi budgeting anggota legislatif telah diputuskan untuk dibatasi. Sehingga tidak bisa lagi terlibat terlalu dalam menentukan perencanaan yang sifatnya amat detail sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) yang menjadi wewenang eksekutif. 

Untuk kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran. Sementara kewenangan legislatif dalam melaksanakan fungsi anggaran terbatas pada persetujuan dan pengawasan anggaran. Dan terkait Keputusan MK itu, Mendagri pun telah membuat surat edaran agar penganggaran yang berlaku di daerah mengikuti semangat keputusan MK tersebut. Entah, apakah keputusan MK itu dipahami atau tidak semangat dari keberadaannya oleh anggota DPRD DKI Jakarta.

Penilaian pihak DPRD bahwa mereka tak dianggap oleh Ahok terkait kewenangan DPRD menjalankan fungsi budgeting yang dimilikinya, justru Ahok merasa langkahnya menyerahkan RAPBD 2015 versi pemprov DKI Jakarta, dan bukan versi DPRD, agar RAPBD 2015 terbebas dari “dana siluman” yang diduganya diselundupkan para anggota dewan. 

Tudingannya soal dana siluman itu didasari Ahok pada adanya temuan BPKP terkait penggunaan APBD DKI Jakarta dua tahun terakhir sebelumnya. Jumlah dana siluman dalam RAPBD 2015 versi DPRD, Ahok menyebut angka yang fantastis: 12,1 triliun rupiah. 
Selain itu sedari awal konflik ini digelar, Ahok pun telah menunjukkan keagresifannya menembakkan serentetan tuduhan miring kepada para anggota DPRD, seperti tuduhan rampok dan maling, sebagaimana amat disayangkan oleh para anggota dewan ucapan itu keluar dari mulut Ahok. 

Terang saja keagresifan Ahok menyerang anggota dewan membuat mereka meradang. Para anggota DPRD menilai langkah dan tudingan yang dibuat Ahok itu dinilai sedang menghancurkan martabat anggota dewan. Kemudian respon setimpal pun diberikan oleh anggota DPRD, yakni dengan membuat keputusan menggunakan hak angket terhadap Ahok. 

Tak gentar atas penggunaan hak angket oleh DPRD, sehari setelah pembentukan panitia hak angket langsung direspon Ahok dengan langkah hukum, yakni melaporkan indikasi penyimpangan dan dana siluman dalam APBD kepada KPK pada 27 Februari 2017. 

Sejak itu konflik bersuhu tinggi antara Ahok dan DPRD terus meruncing. Saling tuding dan saling serang berlangsung diantara kedua belah pihak. Sementara aksi-aksi massa dan aksi-aksi di media sosial, baik yang menentang dan mendukung turut memompa eskalasi konflik kedua pihak yang berkonflik itu. 

Dalam sebuah rapat mediasi antara Pemprov DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta yang digelar Kemendagri pada 5 Maret 2015, suasana panas penuh emosi dan adu mulut berlangsung antara Ahok dengan para anggota DPRD. Di ruang rapat itu Ahok ngamuk-ngamuk, bicara keras dan kasar penuh emosi tak terkontrol. Sementara untuk meredam suara Ahok di rapat itu, justru para anggota dewan bertindak seakan tak ingin kalah gaduh dengan Ahok. Bahkan ada anggota dewan yang meneriaki kata-kata  kasar dan rasial terhadap Ahok. 

Pasca rapat mediasi yang panas itu, tiba-tiba nama Abraham Lunggana (Haji Lulung), Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, menjadi sangat populer di media sosial. Ia menjadi trending topik nasional bahkan dunia selama  beberapa hari.  Populernya H Lulung di twitland bukan lantaran prestasinya yang spektakuler dan diapresiasi publik terkait konflik yang sedang berlangsung antara DPRD dengan Ahok. Bukan itu! Sepertinya Haji Lulung dianggap pata netizen sebagai sosok dan simbol paling layak mewakili DPRD untuk dijadikan bahan olok-olokan nasional dan global terkait konflik Ahok dengan DPRD.

Terlepas itu, proses penyelidikan Panitia Hak Angket DPRD DKI pun dilangsungkan sejak awal Maret hingga akhir Maret 2015. Meski di tengah jalan beberapa fraksi yang awalnya mendukung angket akhirnya mencabut dukungan itu. Seperti terjadi pada fraksi nasdem dan fraksi partai amanat nasional. SEmentara fraksi-fraksi lain tak terpengaruh dan terus melakukan penyelidikan dan menghimpun keterangan dari beberapa orang. 

Diantaranya yang dipanggil oleh panitia angket untuk dimintai keterangan adalah Sekretaris Daerah Saefullah, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Heru Budi Hartono, konsultan e-budgeting Gagat Wahono, Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan Sarwo Handayani, Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Sylviana Murni, pakar hukum tata negara Margarita Kamis dan Irman Putra Sidin, pakar komunikasi  politik Emrus Sihombing dan Tjipta Lesmana, serta pakar keuangan daerah Sumardjiyo.

Panitia angket tetap ingin menunjukkan konsistensinya melakukan penyelidikan, meski pada Senin (23/3/2015) pihak DPRD DKI Jakarta menyepakati pagu APBD Perubahan tahun 2014 untuk APBD Tahun 2015 dengan menggunakan peraturan gubernur (pergub). Itu berarti bahwa RAPBD 2015 versi pihak eksekutif yang sebelumnya dipersoalkan dan menjadi alasan DPRD menggunakan hak angket, akhirnya  benar-benar batal diterapkan di tahun 2015 ini. 

Namun terkait proses penyelidikan Panitia Hak Angket DPRD, justru Gubernur Ahok sendiri sebagai pihak yang berperkara dengan DPRD DKI Jakarta, tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan. Malah sepertinya sejak awal panitia angket tak pernah berniat memanggil Ahok. Padahal Ahok berkali-kali menantang minta dipangil. Bukan cuma Ahok yang tak pernah dipanggil panitia angket. Istri Ahok, Veronica Tan, yang dituding memimpin rapat dengan para SKPD membahas soal renovasi Kota Tua, pun tak jadi dipanggil dan dimintai keterangannya.  

Sehingga disitulah cibiran banyak masyarakat menjadi tepat dan relevan. Bahwa kerja-kerja Panitia Hak Angket DPRD DKI Jakarta tidak bermutu, bukan dilandasi kehendak memperoleh fakta-fakta kebenaran komprehensif atas tujuan angket itu sendiri, cuma sekedar alat untuk mengerek nama baik dan kewibawaan dewan yang terus merosot dengan mengambil kesempatan memblejeti Ahok lewat serangan atas gaya kepemimpinan Ahok yang arogan dan kasar—terlepas penggunaan hak angket itu sendiri memang dijamin undang-undang. 

Jika begitu, lalu kesimpulan macam apa yang hendak disusun oleh Panitia Angket DPRD DKI Jakarta, jika pihak yang berperkara dengan DPRD sendiri tak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan? Alasan yang dikembangkan pihak panitia angket selama ini, bahwa jika memanggil Ahok dikhawatirkan akan membuat keributan, sungguh alasan yang akhirnya menunjukkan kekerdilan sikap dan visi panitia angket atas tujuan pembentukan hak angket itu sendiri.


Renungan untuk Ahok

Sejak awal, ketika konfliks antara Ahok dan DPRD terus berkembang dan mengeras, Ahok memang terus-menerus meyakinkan pubik bahwa ia sedang berjuang melawan para koruptor, yang sejak lama seenaknya saja menggerogoti APBD yang notabene uang rakyat. Bahkan seringkali pernyataan-pernyataannya dihadapan publik dalam rangka menabuh genderang perang terhadap para koruptor itu, disertai bahasa emosional yang kasar dan jauh dari simpatik. 

Malah dalam satu wawancara live dengan Kompas TV pada 17 Maret 2015 lalu, Ahok memaki-maki dengan kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan seorang pejabat seperti dirinya di hadapan publik. Meskipun akhirnya Ahok kemudian meminta maaf dihadapan para awak media, namun ucapan maafnya itu masih dalam rangka membangun kesan dirinya sebagai “si suci yang nekad sendirian”, yang minta dimengerti oleh masyarakat agar dipekenankan berbicara kasar dan jorok dalam rangka menegakkan kemuliaan menyelamatkan uang rakyat dari para koruptor.  

Jika sebagai pejabat publik Ahok merasa memang terpanggil untuk “berjihad” melawan korupsi, maka tidak bisa tidak Ahok harus terus belajar lagi sambil mencoba (learning by doing) menguasai “jurus-jurus” yang jauh lebih cerdas, elegan namun “mematikan”. 

Sebab bila melihat “jurus” yang selama ini ditunjukkan Ahok melawan korupsi dan konfliknya dengan DPRD, sepertinya Ahok cuma punya satu jurus yang itu-itu saja yang menjadi andalannya, yakni “celeng nyeruduk bagong”, dimana Ahok terus saja “nyeruduk” dengan kemarahan tak terkontrol, tanpa peduli mana lawan, mana kawan, mana rakyat, mana bajingan, mana anak-anak, mana orangtua, mana yang perlu sentuhan nasehat, mana yang mesti disentil, mana yang perlu dibina lewat cinta, dan sebagainya. 

Semua orang disamaratakan oleh Ahok dan masyarakat biasa cenderung dianggap bukan apa-apa olehnya. Pada titik ini saya menduga, ya dugaan, bahwa boleh jadi sikap keras dan kasar yang ditunjukkan Ahok itu merupakan produk dari perpaduan dari dua model tekanan yang diperolehnya sejak kecil. 

Yakni tekanan prasangka yang hebat selama puluhan tahun sebagai anak yang lahir dan menyandang status double minoritas, sebagai etnis Tionghoa dan Kristen, di sebuah negara seperti Indonesia. Dan model tekanan lewat pola asuh saat kecil oleh orangtua ataupun lingkungan terdekatnya, yang cenderung keras dan kasar kepadanya, sehingga itu membekas di alam bawah sadarnya. Sehingga kemudian perlakuan keras dan kasar itu di-imprint atau dipraktekkan oleh Ahok saat dewasa. Dan jika dugaan ini benar, sungguh Ahok membutuhkan terapi yang mampu menghilangkan tekanan-tekanan yang membekas di alam bawah sadarnya sejak ia kecil.

Selain itu, ketimbang terus-menerus menggunakan jurus celeng nyeruduk bagong, Ahok perlu belajar “jurus-jurus” lain yang jauh lebih indah namun mematikan. Seperti jurus yang diperlihatkan oleh Pendekar Tanpa Nama (Nameless), Pendekar Pedang Patah (Broken Sword) dan Pendekar Langit (Sky) dalam film legandaris besutan sutradara Zhang Yimou berjudul Hero. Atau jurus-jurus lentur dan gemulai namun mengandung daya rusak yang dasyat bagi kejahatan, seperti yang diperlihatkan oleh Pendekar Li Mu Bai dalam film kelas Oscar, Crouching Tiger, Hidden Dragon.

Ahok juga harus belajar lebih melek lagi agar bisa melihat, bahwa bukan cuma dirinya yang ingin memberantas korupsi. Banyak elemen masyarakat lain di Jakarta yang juga punya semangat sama dengannya untuk memberantas korupsi. Sehingga ia harus membangun kemitraan dan komunikasi yang intens lagi dengan elemen-elemen masyarakat yang punya semangat yang sama dengannya itu. Dan ketika membangun kemitraan dan komunikasi itu, Ahok sebagai pejabat juga harus menunjukkan kerendahhatian—bukan membiasakan diri memasang gaya angkuh layaknya para demang jaman kompeni.  
Namun, bila toh nantinya ternyata dalam rapat paripurna hasil hak angket DPRD DKI Jakarta memang akan berujung pada pemakjulan Ahok, rasanya tak ada kata terlambat bagi Ahok untuk bisa memulai saat ini dan seterusnya bersikap dan berkomunikasi jauh lebih simpatik, lebih dewasa, lebih rendah hati, meski tetap mengobarkan di dalam dirinya sikap anti terhadap korupsi.


Renungan Untuk DPRD DKI Jakarta 

Sebenarnya ketika DPRD menyepakati pagu APBD Perubahan tahun 2014 untuk digunakan sebagai APBD Tahun 2015 lewat peraturan gubernur (pergub), tujuan penggunaan hak angket untuk menyelidiki indikasi pelanggaran Gubernur terkait penyerahan RAPBD 2015 kepada Kemendagri, sudah kehilangan relevansinya. 

Sementara jika soal etika Gubernur Ahok menjadi sorotan penyelidikan angket, maka memang itu dapat dilakukan. Sebab terkait etika penyelenggara negara itu telah diatur lewat Tap MPR MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 27 menyebut tentang kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus dijalankan. Diantaranya pada butir (f) menyebutkan: “Menjaga etika dan norma  dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Dengan demikian kepala daerah memang dapat dimakjulkan karena persoalan etikanya.  

Namun bagi para anggota DPRD yang memang dalam hatinya berniat memakzulkan Ahok terkait etikanya, coba terlebih dulu bertanya pada diri sendiri: apakah kehendak memakzulkan Ahok itu lebih besar karena alasan menegakkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang beretika, atau lebih sekedar keinginan meredam langkah-langkah Ahok yang menghambat para anggota DPRD untuk memiliki keleluasaan bermain anggaran seperti yang lalu-lalu? 

Jika nurani anda, wahai anggota DPRD DKI Jakarta, mengatakan bahwa yang pertama itu yang lebih besar bobotnya untuk melakukan pemakzulan terhadap Ahok, maka lakukanlah pemakzulan itu dengan bukti-bukti yang kuat. Meski tentu saja upaya pemakzulan kalian itu nantinya harus diverifikasi lebih dahulu oleh Mahkamah Agung tentang kuat-tidaknya argumen dan bukti-bukti pemakzulan itu.   

Selain itu, para anggota DPRD juga harus lebih sering bersuara lebih vokal lagi di hadapan publik menyuarakan pemberantasan korupsi, sekalipun hal itu mengenai sejawatnya sesama anggota DPRD. Hal itu penting dilakukan sebagai prasyarat melancarkan gerakan “bersih-bersih di dalam”. Jika sudah bersih di dalam, bukankah kewibawaan lembaga pun akhirnya bisa terdongkrak dengan signifikans. Anda pun sebagai para dewan bakal memperoleh apresiasi yang luas dari konstituen dan masyarakat. Bukan tak mungkin anda akan dipilih berkali-kali menjadi angota Dewan karena rakyat mengenal anda sebagai politikus yang bersih dan amanah.

Bersuara lebih vokal menyuarakan dukungan pemberantasan korupsi perlu dilakukan mulai saat ini juga oleh anggota DPRD. Anda, para anggota DPRD DKI Jakarta, jangan kalah dong dari Ahok yang sudah menyuarakan sikapnya yang anti terhadap korupsi. Pasti anda bisa untuk berada di bagian terdepan dalam pemberantasan korupsi, khususnya terkait korupsi di lingkungan DPRD DI Jakarta. Terlebih setelah ada kemajuan berarti terkait pengungkapan indikasi korupsi penggunaan APBD DKI Jakarta. 

Apalagi Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditipikor) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) terus menindaklanjuti temuan BPKP DKI Jakarta terkait indikasi korupsi senilai 300 miliar rupiah untuk pengadaan alat uninterruptible power supply (UPS) di sebanyak 49 sekolah di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Malah lewat serangkaian penyelidikan dan pemanggilan saksi, pihak kepolisian telah menyebut adanya keterlibatan tiga unsur dalam pengadaan UPS, yakni Pemprov DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta, dan pihak swasta. 

Selain itu telah kencang pula disebut-sebut nama anggota DPRD fraksi Gerindra,  Rina Aditya Sartika, anak dari Mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat Alex Usman,  yang diduga terlibat dalam dana siluman APBD DKI 2014 lewat proyek pengadaan buku saat dirinya menjadi caleg DPRD tahun 2014. Alex Usman, ayah Rina, selaku pejabat pemegang komitmen (PPK) ) pengadaan UPS (uninterruptible power supply) di beberapa sekolah di Jakbar, telah dipanggil pihak kepolisian.

Bila di lingkungan DPRD sendiri terus saja mencuat indikasi kuat anggota DPRD terlibat korupsi, apakah masih bersedia untuk terus menutup-nutupi bahkan membelanya, wahai anggota dewan? 

Selain itu, masih berminatkah untuk benar-benar serius memanzulkan Ahok, wahai anggota dewan? Berminat pulakah Anda mendukung secara lebih nyata pemberantasan korupsi di lingkungan eksekutif maupun legislatif? Atau justru Anda berminat pada kedua pilihan itu, anggota DPRD yang terhormat?


sumber: suara pembaruan

0 Response to "#TanyaAhok // Telaah Jelang Paripurna DPRD DKI Jakarta Soal Hasil Angket"

Post a Comment

Total Pageviews